Label

adorasi (1) akolit (1) altar (5) ambo (2) anak-anak (1) awam (1) bahasa latin (4) bapa kami (1) berlutut (1) buku (6) busana liturgi (2) cuci tangan (1) devosi (3) diakon (1) dialog (2) dirigen (1) doa damai (1) doa syukur agung (1) doa umat (1) fotografer (1) graduale romanum (1) gregorian (2) hari raya (1) hosti (1) imam (1) intensi misa (1) istilah (1) jalan salib (3) jumat agung (1) jumat pertama (1) kalender liturgi (4) kamis putih (1) karismatik (1) kesaksian (1) kisah sengsara (1) kolekte (2) komuni (3) komuni dua rupa (2) koor (1) kyriale (2) laetare (1) lagu pembuka (1) lamentasi (1) lectionarium (1) lektor (2) litani para kudus (1) liturgi ekaristi (2) liturgi perkawinan (1) liturgi sabda (8) makna liturgi (1) malam natal (1) malam paskah (1) mazmur tanggapan (1) mimbar (1) minggu palma (1) misa anak (1) misdinar (1) missale romanum (2) musik liturgi (6) natal (1) orang kudus (1) ordinarium (2) organ (1) organis (1) paduan suara (3) pakaian misa (1) pantang (1) panti imam (6) partisipasi aktif (1) paskah (1) passio (1) pedupaan (1) pekan suci (3) pelayan sakramen (1) penghormatan salib (1) penyembahan (1) perarakan persembahan (1) perecikan air suci (1) perkawinan (1) perkawinan campur (1) perlengkapan (5) persiapan persembahan (2) pesta (1) petugas liturgi (6) prapaskah (5) prodiakon (3) proprium (2) prostratio (1) puasa (1) putra altar (1) ratapan (1) ritus pembuka (3) rubrik (1) saat hening (1) sakramen (2) sakramen minyak suci (1) sakramen orang sakit (1) sakramentali (1) salam (2) salam damai (1) salib (2) sanctus (1) sekuensia (1) selebran (1) tabernakel (1) tanda salib (1) tarian (1) tata gerak (7) teknologi (1) teks misa (1) terjemahan (6) tiarap (1) TPE 2005 (5) tridentine (2) trihari suci (1) turibulum (1) ujud (1) vesper (1)

Kamis, 20 Januari 2011

PADUAN SUARA

Tepuk Tangan Saat Komuni

SURAT 1 DARI PASTOR FRANS MAGNIZ SUSENO SJ

PERKENANKAN SAYA berbagi grundelan dengan para pembaca terhormat. Malam Natal saya konselebrasi dalam misa di salah satu gereja paroki. Perhiasannya bagus, liturgi pantas, khotbah menyentuh, koor menyanyi indah, umat bersemangat.

Hanya ini: waktu komuni suci dibagikan, seorang bapak dari koor, dengan suara penyanyi professional, menyanyi solo, sangat ekspresif. Sesudah selesai, umat penuh semangat bertepuk tangan. Pada saat komuni dibagi!...



Saya amat terkejut. Kok bisa! Komuni adalah peristiwa paling sakral bagi umat katolik, bahkah ritus paling sakral dari semua agama. Pada saat itu, seluruh perhatian umat seharusnya seratus persen terpusat hanya pada satu ini: Yesus, Allah-beserta- kita yang sedang datang. Masak pada saat suci itu umat membawa diri bak penonton sinetron! (Pastor paroki kemudian menceritakan bahwa ia sudah memperingatkan umat tetapi tanpa hasil, dan bahwa pernah waktu itu mau memberikan hosti suci kepada seorang umat, dia itu bertepuk tangan dulu).

Apa umat belum pernah membaca I Korintus 11:29? Terus terang, andaikata saya yang memimpin upacara, saya akan langsung menghentikan seluruh pembagian komuni dan mengajak umat berdoa doa tobat.

Saya mengalami tepuk tangan seperti itu juga pada perayaan ekaristi lain. Suatu kesesatan penghayatan yang memalukan apabila orang tidak lagi bisa membedakan antara ibadat yang diarahkan kepada Allah dan acara hiburan! Apakah dilupakan bahwa hormat semua pemeran dalam Ekaristi –pastor, pengkhotbah, koor, umat, dll terletak dalam pelayanan tanpa pamrih, demi kemuliaan Tuhan, yang mereka berikan? Apakah koor-koor kita lupa bahwa tugas satu-satunya mereka adalah membuka hati umat bagi Tuhan dengan keindahan lagu-lagu mereka. Tentu tepuk tangan pada akhir Misa, pada saat pastor menyatakan terima kasih adalah tepat dan sesuai.

Sebagai catatan: Lagu solo sebaiknya hanya diadakan pada akhir ibadat. Hal itu sepenuhnya juga berlaku bagi Ekaristi perkawinan. Kalau perkawinan ditempatkan dalam Ekaristi, seluruh perayaan harus berupa pujaan terhadap Allah dan bukan pemanis para mempelai. Kalau iman kita pada Ekaristi mau credible, kita harus belajar kembali menunjukkan sikap hormat terhadap Allah yang hadir.

Franz Magniz-Suseno SJ

Johar Baru, Jakarta Pusat.



SURAT 2 DARI PASTOR FRANS MAGNIZ SUSESO SJ MENANGGAPI BANYAKNYA KOMENTAR UMAT TERHADAP SURAT 1.

Surat saya tentu pendapat pribadi. Sejauh saya tahu, tahu ada aturan Gereja Katolik Indonesia, dan apakah ada aturan dari Vatikan, saya kurang ahli (dan saya lupa apakah dalam Surat k/l 8 tahun lalu tentang liturgi dari Roma yang sangat tegas, hal tepuk tangan disebut; yang mestinya tahu Rm. Dr. Martosujito Pr, dosen di FTW, Fakultas Teologi U. Sanata Dharma di Yogya).

Khususnya yang menyangkut bahwa saya akan langsung menghentikan pembagian komuni (jadi dalam misa itu tidak akan ada pembagian komuni kecuali yang sudah menerimanya) adalah sikap saya pribadi. Tidak harus orang bertindak sekeras itu.

Akan tetapi jelas juga bahwa yang saya tulis tentang sakralitas saat komuni adalah 100% ajaran dan keyakinan Gereja Katolik. Begitu pula bahwa kadang-kadang diizinkan tepuk tangan di tengah misa, apalagi waktu komuni, jelas secara objektif sebuah penghinaan sakramen - "objektif": umat tidak sadar dan karena itu memang tidak sadar bahwa ia menghina dan karena itu juga bukan dosa yang harus diakukan. Karena itulah saya akan menghentikan komuni. Supaya umat menjadi sadar. Saya tahu kebetulan bahwa Paus kita secara serius mempertimbangkan memindahkan "salam damai" ke akhir misa karena merasa bahwa keributan itu - orang tidak hanya berjabat tangan, melainkan jalan-jalan - mengganggu konsentrasi pada komuni di mana kita umat seharusnya berada dalam keadaan doa batin siap-siap menyambut Tuhan Yesus.

Jadi meskipun dari uskup setempat (Rm. Kardinal) tidak ada instruksi, saya anggap yang saya tulis sesuai dengan semangat Gereja. Tepuk tangan di tengah misa, apalagi waktu komuni (atau waktu doa syukur agung), amat sangat tidak tepat, dan sebetulnya memberi kesaksian negatif, kesaksian bahwa umat sebenarnya tidak percaya/sadar bahwa Tuhan ada di antara mereka. Bahkan khotbah yang sangat bagus pun tidak disambut dengan tepuk tangan (meskipun dalam keadaan sangat khusus boleh ada kekecualian). Saya - dan juga Paus - sangat khawatir kalau misa merosot menjadi semacam "mari kita asyik bertemu". Misa itu rahasia di mana kita ditarik ke dalam keilahian Tuhan Yesus, dan itu memang mempersatukan kita: satu roti satu Kristus satu umat, sehingga segi keumatan memang penting juga dan hakiki, tetapi tidak dengan menyingkirkan hal luar biasa - adakah agama lain yang punya itu - bahwa Tuhan kita datang harafiah kepada kita.

Barangkali masalahnya hanya bahwa kita sepertinya tak pernah bisa serius, selalu bersemangat "biar merasa enak saja".

Semoga tulisan ini membantu.

Salam
Franz Magnis-Suseno SJ


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ:

Setuju 100% dg Romo Franz MS.
Di samping itu penghinaan sakramen, melengkapi tulisan saya dan beberapa teman, soal penyanyi dan suara indah saat Misa ..... perlu dan pas tidak ditepuki, kalau mengacu "Nyanyian sebagai pujian" (bdk Qui bene cantat bis orat), maka nyanyian di situ termasuk kategori "pujian atau doa". Maka adalah tidak pas juga kalau... ada orang yang berdoa dan doanya bagus sekali rumusan maupun cara membawakan amat pas sehingga umat hanyaut dalam doa itu .... lalu setelah selesai doa, umat bertepuh tangan atas doa itu.
Dalam cara pandang ini pasti mudah sekali melihat ketidak-pasan tepuk tangan dalam kasus Nyanyian (= pujian) saat Misa. Dan dalam pola pandang ini rasanya tidak akan ada lagi pro kontra tentang boleh atau tidaknya, perlu atau tidaknya, pas atau tidaknya memberikan tepuk tangan kepada singer(s) saat Misa kudus, terutama saat komuni.


Tepuk tangan saat Perayaan Ekaristi sedang berlangsung, terutama saat komuni masih berlangsung adalah kurang tepat tempat dan waktunya; karena saat komuni adalah saat di mana orang menikmati perjumpaannya (persatuannya) dengan Yesus Tuhan. Maka hadirnya orang atau penampilan orang atau koor yang yang mengalihkan atau merampas perhatian akan “saat perjumpaan” pada dasarnya tidaklah tepat momentum/timingnya.
Bandingkan kita menantikan Paus atau presiden, dan saat beliau datang ada orang yang tampil ke panggung dan mengundang tepuk tangan kita. Tentu saja tindakan itu atau kebiasaan itu kurang pas.

Lagu-lagu saat komuni seharusnya membantu jemaat untuk menghayati persatuaanya dengan Tuhan dan membangun suasana supaya orang bisa membangun kebersamaan yang efektif denganNya. Maka saat semacam itu yang amat dianjurkan adalah “HENING” agar orang bisa berkomunikasi dan menyambut Tuhan dalam doa. Oleh karena itu kalau pun ada lagu, sebaiknya doa yang agung dan membantu suasana khidmat itu. Lagu yang paling bagus adalah seperti misalnya: Ekaristi Sakramen Mahakudus, Panis Angelicus, dan sejenisnya.

Pada dasarnya boleh dan bisa dimaklumi kalau harus ada tepuk tangan, maka tepuk tangan diberikan pada bagian penutup. Misalnya pastor saat mengucapkan terimakasih atas koor yang apik, atau kalau orang ingin mengharapkan apresiasi umat dengan tepuk tangan, bisa membawakan lagu andalan itu bukan saat komuni tetapi saat Penutup.

NB. Tradisi tidak baik dengan kebiasaan tepuk tangan spontan atas Koor atau nyanyian seseorang, adalah membangun kebiasaan salah yakni memperlakukan atau menganggap gereja seperti “pentas atau panggung” untuk ekspresi atau unjuk kebolehan. Akibatnya orang akan merasa kecewa kalau tidak ditepuki dan tepuk tangan seolah menjadi pertanda sukses atau tidaknya mereka menjalankan tugas paduan suara tersebut.
Padahal tugas Koor adalah untuk membantu atau mendukung agar perayaan Ekaristi lebih mudah dan khusuk dihayati oleh umat yang hadir.


TANGGAPAN SUSUSAN PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ:

Tepuk tangan saat Perayaan Ekaristi sedang berlangsung, terutama saat komuni masih berlangsung adalah kurang tepat tempat dan waktunya; karena saat komuni adalah saat di mana orang menikmati perjumpaannya (persatuannya) dengan Yesus Tuhan. Maka hadirnya orang atau penampilan orang atau koor yang yang mengalihkan atau merampas perhatian akan “saat perjumpaan” pada dasarnya tidaklah tepat momentum/timingnya.
Bandingkan kita menantikan Paus atau presiden, dan saat beliau datang ada orang yang tampil ke panggung dan mengundang tepuk tangan kita. Tentu saja tindakan itu atau kebiasaan itu kurang pas.

Lagu-lagu saat komuni seharusnya membantu jemaat untuk menghayati persatuaanya dengan Tuhan dan membangun suasana supaya orang bisa membangun kebersamaan yang efektif denganNya. Maka saat semacam itu yang amat dianjurkan adalah “HENING” agar orang bisa berkomunikasi dan menyambut Tuhan dalam doa. Oleh karena itu kalau pun ada lagu, sebaiknya doa yang agung dan membantu suasana khidmat itu. Lagu yang paling bagus adalah seperti misalnya: Ekaristi Sakramen Mahakudus, Panis Angelicus, dan sejenisnya.

Pada dasarnya boleh dan bisa dimaklumi kalau harus ada tepuk tangan, maka tepuk tangan diberikan pada bagian penutup. Misalnya pastor saat mengucapkan terimakasih atas koor yang apik, atau kalau orang ingin mengharapkan apresiasi umat dengan tepuk tangan, bisa membawakan lagu andalan itu bukan saat komuni tetapi saat Penutup.

NB. Tradisi tidak baik dengan kebiasaan tepuk tangan spontan atas Koor atau nyanyian seseorang, adalah membangun kebiasaan salah yakni memperlakukan atau menganggap gereja seperti “pentas atau panggung” untuk ekspresi atau unjuk kebolehan. Akibatnya orang akan merasa kecewa kalau tidak ditepuki dan tepuk tangan seolah menjadi pertanda sukses atau tidaknya mereka menjalankan tugas paduan suara tersebut.
Padahal tugas Koor adalah untuk membantu atau mendukung agar perayaan Ekaristi lebih mudah dan khusuk dihayati oleh umat yang hadir.


KOMENTAR/TANGGAPAN PASTOR ALO LAMERE MSC (DIKUTIP VIA SEBUAH MILIS):

Investasi rasa besalah atau guilty feeling selalu dibuat oleh Gereja sepanjang zaman. Dalam kasus tepuk tanganpun saya merasa Gereja turut menginvestasi rasa bersalah itu. Saya sependapat dgn von Magnis tentang perlunya rasa hormat terhadap Tuhan yang hadir dalam ekaristi. Namun apakah orang atau umat berniat untuk menghina Tuhan dgn tepuk tangan? Mereka pasti tdk bermaksud demikian. Dengan mengatakan bahwa tepuk tangan pada saat org selesai menyanyikan lagu tertentu sbg penghinaan maka sekarang org mulai merasa bersalah. Tanpa sadar von Magnis mengivestasi rasa bersalah dalam diri umat yang tadinya tidak bermaksud menghina Tuhan. Sekarang kalau org mau tepuk tangan lalu pikiranya ke "penghinaan pd Tuhan", sebuah pikiran yang tak pernah terlintas dalam benaknya sebelum membaca komentar von Magnis. Sekali lagi melalui para pelayannya Gereja menginvestasi rasa bersalah dalam diri umat. Salam, alo lamere msc


PENJELASAN DARI ROMO MAGNIZ SUSENO SJ, ATAS TANGGAPAN PASTOR ALO LAMERE

----- Original Message -----
From: F. Magnis-Suseno, SJ
Sent: Monday, March 15, 2010 10:29 PM
Subject: Re: Tepuk tangan waktu komuni


Salam,
Pertama, saya minta maaf, baru sekarang sempat menjawab beberapa pertanyaan berkaitan dengan surat pembaca saya di Hidup. Tetapi saya terlalu penuh dengan pekerjaan yang tidak dapat saya kesampingkan. Sekarang pun saya hanya dapat menjawab dengan singkat.


1. Jang saya sesalkan hanyalah tepuk tangan sebagai applaus di tengah misa, apalagi di saat komuni dibagi. Tidak ada alasan untuk keberatan dengan tepuk tangan yang mau memuji Tuhan, seperti lazim di kalangan karismatik. Seperti ada tarian liturgis, begitu bisa saja umat memuji Tuhan dengan bertepuk tangan.
2. Yang saya sesalkan adalah aplaus bagi koor (tentu juga: bagi khotbah imam, bagi tarian persembahan dll.) di tengah misa. Misa adalah peristiwa paling suci dan paling inti dalam Gereja, ekspresi iman paling dalam. Dalam misa Allah yang Mahasuci hadir. Seluruh ritus misa diarahkan untuk memuji Allah dan dalam pujian bersama umat dipersatukan. Semua nyanyian umat dan kor dan segala keindahan adalah untuk memuji Tuhan dan membuka hati kita, umat. Dan bukan untuk memamerkan diri. Maka aplaus dalam misa sangat tidak tepat.
3. Itu khusus berlaku di saat menerima komuni. Tak ada saat lebih sakral dalam iman kita dan barangkali di dunia. Tuhan Yesus Putera Allah sendiri datang kepada kita masing-masing, seluruh perhatian harus diarahkan kepadaNya. Ini saat paling khusuk bagi umat, ia dipersatukan dengan kurban Yesus di salib dan dengan kebangkitanNya. Maka dalam tradisi Gereja komuni selalu dirayakan dengan khusuk, dalam bentuk yang memperlihatkan hormat yang kita tunjukkan kepada Tuhan kita, dengan sikap konsentrasi pada Tuhan (dulu orang, sesudah menerima komuni, menutup muka waktu berdoa). Maka saya - saya, bukan uskup - andaikata ada applaus, akan menghentikan kelanjutan komuni karena saya menganggap aplaus itu sebagai desakralisasi. Tentu maksud umat tidak sebagai itu, tetapi, dengan pinjam dari Paulus, kalau kita tidak bisa membedakan makanan itu dari makanan biasa, ya kita berhenti saja. Saya juga akan melakukannya untuk menshok umat. Misa bukan konser.
4. Tetapi berterimakasih pada akhir misa adalah sangat tepat, juga tergantung kekhususan pelayanan masing-masing pihak (misalnya di masa Natal dan Paskahan). Di situ koor pantasan diterimakasihi dan tentu juga boleh, dan sebaiknya, ditepuki tangan. Kemampuan untuk berterimakasih adalah tanda keluhuran jiwa dan kita boleh berterimakasih untuk apa saja. Kalau pun koor dan imam melakukan pelayanan mereka murni bagi Tuhan, kita tetap boleh menyatakan terimakasih. Akhir misa adalah saat yang tepat.
5. Suatu catatan tambahan: Barangkali kita perlu belajar lagi bahwa Allah, ya Allah Bapak kita, perlu selalu kita dekati dengan sikap hormat setinggi-tingginya. Barangkali kita terlalu enak bicara tentang dan dengan Allah Bapak. Dalam Perjanjian Lama, tetapi juga Perjanjian Baru ("mereka ketakutan" di gunung Tabor) theophania , penampakan diri Allah, selalu amat mengejutkan dan orang merasa akan mati. Syukur, Yesus mengajar kita bahwa Allah itu Bapak kita dan kita tidak perlu takut. Tetapi dalam doaNya, doa pertama adalah "dikuduskanlah namaMu" (sebenarnya bukan: "dimuliakanlah"; teks Yunani, baik pada Mattheus maupun Lukas adalah " hagiasteto to onoma sou" , hagios adalah kudus dalam arti kesucian mulak murni Allah yang tidak ada kekotoran sedikit pun; "dimuliakannya termasuk dalam "dikuduskanlah", tetapi kurang lengkap, karena tidak mengungkapkan bahwa permohonan pertama ini membawa implikasi bahwa kita harus juga kudus (tentu tak tercapai), "sempurna seperti BapakMu di surga sempurna"). Lelucon tentang Allah: boleh saja, tetapi dalam lelucon yang menyangkut Allah kita sebenarnya selalu tertawa tentang manusia yang berhadapan dengan Allah, bukan tentang Allah (biasanya isi lelucon baik tentang Allah - Gus Dur tahu banyak - kalau dilihat persis, yang ditegaskan adalah kebesaran hati Allah dan kepicikan manusia). Karena itu dalam Gereja yang ada sakramennya kita tidak akan omong seenaknya, melainkan kalau perlu omong, dengan suara kecil dan hormat, juga kalau kita membawa tamu bukan Katolik yang tidak tahu siapa yang ada di tabernakel.
6. Ada tanggapan seorang Romo bahwa Gereja suka menyebabkan umat guilt feeling (merasa bersalah) dan jangan sampai "larangan" tepuk tangan juga menambah guilt feeling yang tak perlu. Tentu jawaban saya yang pertama adalah bahwa kalau kita berbuat salah, kita seharusnya merasa bersalah, dan kalau kita tidak merasa bersalah, kita memang bersalah. Menurut saya, kalau kita berlaku seakan-akan tidak tahu apa yang terjadi pada saat kita komuni, kita seharusnya merasa bersalah. Paulus pun mempersalahkan umat di Korintus. Tetapi Romo tentu juga benar. Khususnya tidak perlu selalu takut dalam hal ritus, atau kalau misalnya karena lupa kita di hari Jumat di masa puasa tidak pantang, tak perlu merasa salah berlebihan. Kita hendaknya merasa bersalah kalau membuat orang sakit hati, kalau kita keras hati, kalau kita menipu orang, kalau kita mencuri "domba milik orang kecil" (Daud), dlsb. Hal bagaimana membawa diri di gereja, dan waktu misa, lebih menyangkut semacam sopan-santun keKatolikan yang seharusnya sudah berdarah daging di hati kita, di mana, kalau kita tidak membawa diri dengan hormat, kita tidak perlu merasa bersalah berat (Tuhan tidak picik), tetapi merasa malu terhadap Tuhan, itu boleh saja.




Pertanyaan umat :

Bagaimana jika ada imam selebran yang exhibionis, senang tampil.....Saya sering melihat ada imam yang sering membawakan lagu2 non liturgis dalam gereja,....Sepertinya senang mendapatkan applaus


PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ

Hehehee.... namanya juga exhibitionis - maka walau dia imam ya tidak usah dan tidak bisa dipakai sebagai "model liturgi yang benarr".
Kalau ada yang bisa mengingatkan pastor itu, tolong diberitahu dengan arif dan bijak.
Kalau tidak, ya asal kita dan umat tahu bahwa itu adalah 'kelemahan' (atau kelebihan???) orang itu yang kebetulan menjadi imam di situ .... :-)


Komentar umat :

Setelah mengikuti liturgi Paskah, saatnya berbagi berevaluasi sekitar pelaksanaan liturgi nya ...
Seperti di Gereja Kotabaru Yogyakarta, betapa penggunaan lagu2 yang tidak terbiasa sangat mengganggu jalannya liturgi yang akhirnya sangat tidak mendukung kemeriahan/keagungannya. Bahwa selama ini umat terbiasa lagu2 dari M...B dan kemudian saat misa Paskah menggunakan lagu2 dari PS sungguh mengacaukan! Alangkah baiknya jika akan diambil kebijakan tsb hendaknya beberapa bulan sebelumnya diintrodusir lagu2 dari PS sehingga telinga umat jadi terbiasa, akhirnya bisa ikut berpartisipasi. Apalagi ditunjang koornya yang kurang siap betapa semakin membuat "runyam", saat misa Raya nyanyian yg seharusnya menopang kemeriahan/keagungan liturgi menjadi sebaliknya ...


PENCERAHAN DARI PASTOR CHRISTIANUS HENDRIK :

hemm...bisa ikut merasakan kegalauan hati bpk Ajie. Memang bisa disayangkan kalau untuk perayaan hari yang sangat agung beberapa hal kurang dipersiapkan dengan baik. Bukan soalnya lagu2 diambil dari mana atau jenis lagu apa. Tetapi umumnya untuk hari2 raya seperti Paskah, atau natal toh sudah ada lagu2 yang "standar" yang sudah akrab di telinga dan hati umat. Rasanya tidaklah membosankan untuk menyanyikannya hanya dalam kesempatan khusus setahun sekali. Lalu kalau ada upaya memperkenalkan lagu2 baru sebaiknya tidak pada hari2 raya atau tidak pada waktu umat belum mengenal sungguh lagu2nya.

Bahwa demi mensosialisasikan lagu2 baru, memang dibutuhkan waktu agar umat menjadi cukup familiar mendengarnya hingga bisa membantu kekhusukan doa. Bagaimanapun, masalah koor ini sering menjadi perdebatan ketika 'action' nya dalam perayaan Ekaristi berlebihan. Koor sebaiknya dan sedapat mungkin melibatkan umat, dan tugas koor adalah membantu 'memimpin' umat supaya bisa ikut bernyanyi lebih baik. Jadi koor bukan menggantikan peran umat dalam bernyanyi dengan menampilkan lagu2 baru yang (walaupun indah) umat sendiri tidak bisa menyanyikannya...lalu jadi 'penonton konser' dalam perayaan Ekaristi. Berkali2 diingatkan agar petugas koor mengkomunikasikan lagu2 yang mau dipakai kepada Imam yang akan memimpin, jauh hari sebelumnya, supaya masih ada kemungkinan pertimbangan dan perubahan sejauh perlu.

Kadang bentuk sosialisasi lagu2 baru ini bisa diambil kesempatan pada waktu menjelang misa, di mana koor sudah menyanyikan lagu2 baru untuk diperkenalkan ke telinga umat yang datang sebelum misa, sebelum nantinya pada waktu Misa lagu itu dinyanyikan bersama. Tentu tetap memperhatikan suasana hening dan hikmad sebelum Misa kudus supaya umat tetap ada kesempatan untuk hening.... See More

Entah menggunakan MB atau PS, keduanya adalah buku umat dan tidak ada yang salah mengenai itu. Hanya selalu perlu persiapan dan sosialisasi yang baik sebelum digunakan, apalagi untuk hari2 khusus seperti hari raya Paskah dsb.

Semoga liturgi itu semakin indah ketika kita juga selalu mempersiapkan hati untuk merayakannya bersama seluruh umat; semoga semakin banyak orang memperoleh kesempatan menimba kekuatan rohani dari liturgi yang dipersiapkan dengan baik dan yang sesuai dengan situasi umat setempat. Selamat Paskah, selamat membaharui hidup dalam kekuatan kebangkitanNya.


Pertanyaan umat :

Dalam perayaan Ekaristi perkawinan, pada saat mempelai datang ke hadapan patung Bunda Maria, biasanya koor mengiringi dengan suara koor atau solis yang jauh lebih keras daripada suara doa sang mempelai. Bagaimanakah seharusnya?


PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN :

Kebiasaan kurang tepat dalam beberapa peristiwa khusus, berkaitan dengan peranan koor memang perlu ditata ulang.
Koor adalah pendukung liturgi, dan bukan presenter lepas.
Maka sebaiknya bagian utama yang mau disampai dalam kesatuan perayaan diberi perhatian cukup.
Contoh: saat imam mengucapkan forma (rumusan doa dan berkat), penyerahan simbol, dll sebaiknya koor (kalau mau mengiringi) suaranya tidak mengalahkan suara imam atau pelaku perayaan.
Yang sering salah adalah: .
Saat imam memberkati dan menyerahkan cincin, Kitabsci, dan simbol lain Koor telah tampil dengan suara full. Padahal bagian ini ada yang termasuk bagian pokok perayaan perkawinan.
Demikian juga saat pengantin berdoa di depan Bunda Maria, suaranya hilang kalah oleh koor, apalagi suara pengantin perempuan atau pengantin yang malu-malu.

Peristiwa sama beberapa kali saya temukan saat tahbisan imamat .... saat Uskup menyerahkan simbol: pakaian, perlengkapan misa, ... atau tahbisan diakon saat penyerahan Kitabsuci ... pesan uskup tidak terdengar karena Koor terlalu bersemangat menyanyi dan tanpa mempedulikan bahwa ada "pesan penting" baik bagi si tertahbis, maupun umat.


PENCERAHAN DARI PASTOR BERNARD RAHAWARIN :

Unsur utama dari bagian penyerahan pengantin kepada Bunda Maria adalah doa pengantin. Kehadiran unsru-unsur ritual lain adalah untuk mendukung unsur utama. Dengan demikian doa pengantin seharusnya dibawakan dengan suara yg secukupnya dan menjadi perhatian dari semua yg beribadat. Di Basilika San Pietro - Vatikan, pernah sy ubah sebuah susunaN liturgi yg disiapkan dari Indonesia dengan orientasi agak mengemukakan pentingnya paduan suara. Dan memang seharusnya begitu. Karena yg jadi pokok dlm perayaan sakramen perkawinan adalah pengantin yg menghadirkan sec. sacramental hubungan Kristus-Gereja.

1 komentar:

  1. Mohon pencerahan: apakah lagu lagu Natal berbahasa Inggris seperti O Holly Night, Jingle Bells, Feliz Navidad (bhs. Latin malah) boleh dinyanyikan pada saat perayaan ekaristi Malam Natal? Terima kasih sebelumnya

    BalasHapus