Label

adorasi (1) akolit (1) altar (5) ambo (2) anak-anak (1) awam (1) bahasa latin (4) bapa kami (1) berlutut (1) buku (6) busana liturgi (2) cuci tangan (1) devosi (3) diakon (1) dialog (2) dirigen (1) doa damai (1) doa syukur agung (1) doa umat (1) fotografer (1) graduale romanum (1) gregorian (2) hari raya (1) hosti (1) imam (1) intensi misa (1) istilah (1) jalan salib (3) jumat agung (1) jumat pertama (1) kalender liturgi (4) kamis putih (1) karismatik (1) kesaksian (1) kisah sengsara (1) kolekte (2) komuni (3) komuni dua rupa (2) koor (1) kyriale (2) laetare (1) lagu pembuka (1) lamentasi (1) lectionarium (1) lektor (2) litani para kudus (1) liturgi ekaristi (2) liturgi perkawinan (1) liturgi sabda (8) makna liturgi (1) malam natal (1) malam paskah (1) mazmur tanggapan (1) mimbar (1) minggu palma (1) misa anak (1) misdinar (1) missale romanum (2) musik liturgi (6) natal (1) orang kudus (1) ordinarium (2) organ (1) organis (1) paduan suara (3) pakaian misa (1) pantang (1) panti imam (6) partisipasi aktif (1) paskah (1) passio (1) pedupaan (1) pekan suci (3) pelayan sakramen (1) penghormatan salib (1) penyembahan (1) perarakan persembahan (1) perecikan air suci (1) perkawinan (1) perkawinan campur (1) perlengkapan (5) persiapan persembahan (2) pesta (1) petugas liturgi (6) prapaskah (5) prodiakon (3) proprium (2) prostratio (1) puasa (1) putra altar (1) ratapan (1) ritus pembuka (3) rubrik (1) saat hening (1) sakramen (2) sakramen minyak suci (1) sakramen orang sakit (1) sakramentali (1) salam (2) salam damai (1) salib (2) sanctus (1) sekuensia (1) selebran (1) tabernakel (1) tanda salib (1) tarian (1) tata gerak (7) teknologi (1) teks misa (1) terjemahan (6) tiarap (1) TPE 2005 (5) tridentine (2) trihari suci (1) turibulum (1) ujud (1) vesper (1)

Kamis, 20 Januari 2011

LITURGI SABDA

PERTANYAAN :

Bila Alkitab DIBACAKAN dalam Gereja, Allah sendiri bersabda kpd umatNya. .... Umat wajib MENDENGARKANNYA dgn penuh hormat" (PUMR 29).
Karena itu, menurut sy, praktek 'seluruh umat mmbacakan' Sabda Tuhan dlm misa, entah sebagian, entah keseluruhan bacaan; entah secara bersama2, entah berganti2an ayat per ayat, kiranya ...bukanlah praktek yg tepat. Justru ini mengaburkan makna "Allah bersabda, umat (=bangsa Israel-baru) mendengarkan".
Mohon sharing dari rekan2. Tks.




PENJELASAN PASTOR ZEPTO PR.

Kadangkala org menafsirkan 'participatio actuosa' secara kebablasan.
"Apa yg biasa, belum tentu benar dan sesuai norma. Sebaliknya, apa yg benar dan normatif harus dibiasakan."

PENJELASAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ

Homili boleh disampaikan secara dialogis atau pun monolog. Yang utama adalah saat itu untuk pengajaran terutama berangkat dari Sabda yang baru saja didengar.
Bobot homili bukan pada lucu, rame, semarak, tetapi pada apakah Sabda semakin meresap dalam hati umat dan kita membawa harta rohani saat kembali "diutus"
Homili adalah penjelasan tentang bacaan dari Alkitab atau perayaan hari itu, yang dimaksudkan untuk memupuk semangat kristiani (PUMR 55; 65-66).

Kedua, maksud homili adalah menguatkan pengajaran ilahi yang telah didengar dalam Sabda (PUMR 29;55). Nah, pendalaman pengajaran bisa disampaikan secara monolog atau dialog.

NB. Yang perlu disadari oleh imam adalah agar tidak hanyut oleh dialog, sehingga lupa waktu. Khususnya di paroki besar, di mana perayaan ekaristi di tempat itu dibatasi waktu karena frekuensi ekaristi yang dirayakan, misalnya sedudah itu telah siap misa berikutnya ... maka disiplin waktu juga perlu dilatih dengan baik. ... See More
Kedua homili bukan kesempatan untuk "guyonan".
Ketiga, homili juga tidak boleh diganti dengan "sambutan" (PUMR 382)

Dan yang amat penting, sangat baik dan dianjurkan kalau setelah mendengarkan Sabda, disusul dengan "saat hening".


Pertanyaan umat :

Pastor Samiran...kalau penjelasannya "lembaran itu sifatnya tawaran. Imam pemimpin perayaan saat itu boleh bebas menentukan yang ia anggap paling mewakili suasana hari itu, entah atas dasar Bacaan maupun homili yang disampaikannya."

Kalau lembaran misa adalah tawaran, berarti lembaran yang dikeluarkan oleh ordo tersebut,sebenarnya tidak terlalu perlu untuk umat kali ya...Alasan yang mungkin bisa saya sampaikan, karena sebenarnya ada hal2 yang kadang2 membuat saya bertanya sendiri....kok beda sih....:-)

1. Di lembaran misa tersebut, teks bacaan 1,2, maupun Injil tidak persis sama seperti ada di Buku Misa. Saya juga bingun, kok bisa ngga sama (beda2 tipis..:-). Cuma kalau memang itu lembaran untuk umat, seharusnya teks bacaan yang ada di lembaran = teks bacaan yang ada di buku Misa..... (Note : lektor membacakan dari teks pada buku Misa. Pernah terjadi juga, seorang pastor tamu yang bawa misa itu, justru membacanya dari lembaran teks misa).... See More

2. Umat menjadi tidak mendengarkan lektor ketika membacakan bacaan, tetapi membaca dari teks misa.
Mustinya, kalau memang umat mustinya mendengarkan sabda...umat perlu dididik untuk mendengarkan...bukannya malah disediakan lembaran , entah apapun tujuannya. :-)
Kalau umat dimanja dengan lembaran misa...kapan umat dididik untuk belajar mendengarkan ya...:-)

3. Lembaran misa tersebut memuat DSA lengkap dengan doa2nya. Kalau ada pastor yang tidak memakai DSA dari lembaran tersebut, berarti lembaran tersebut tidak ada manfaatnya. Malah kadang2 membuat umat menjadi bingung...kok DSA di lembaran...berbeda dengan yang dibawakan oleh pastor...Akhirnya umat cari2...dan waktunya sudah sedikit terbuang untuk cari2 DSA yang dipakai oleh pastor.. :-)

4. Lumayan...mengurangi sedikit cost untuk beli lembaran misa, dan sekaligus mendidik umat untuk focus pada apa yang disampaikan oleh pastor di altar.... hehe..


PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ :

Memang lembaran dari cempaka putih itu sebenarnya tawaran saja. Kami di Palembang mencetak sendiri, yang hanya berisi doa dan bacaan, yang sama dengan Lectionarium. Tetapi DSA atau nyanyian tidak dicantumkan.

Catatan penting dari rangkuman PUMR:
a. Imam dan lektor (sebenarnya) tidak boleh membaca dari lembaran lepas, tetapi harus langsung dari Lectionarium.

b. Umat tidak ikut membacakan teks bacaan ekaristi saat itu (misalnya membaca bergantian atau bersama), tetapi umat mendengarkan dengan baik dan khidmat Sabda yang dibacakan dari 'meja Sabda'.

PENCERAHAN DARI BP. AGUS SYAWAL :

Saran yang paling praktis adalah ini:
1. Datang sebelum Misa, pertama-tama renungkan Sabda Allah hari itu, baca sendiri dari teks misa. Tidak perlu tergesa-gesa, jadikan bagian dari dosa persiapan.
2. Sewaktu diwartakan dari mimbar Sabda, dengarkan dengan baik, tanggapi dengan sikap batin bahwa Allah sendiri yang berbicara.

Setiap Misa kita punya sekitar 4-3 bacaan (Mazmur pun termasuk bacaan Sabda, bukan selingan). Sering kali umat cuma baca sekedar lewat, di rumah jarang baca kitab suci, boro-boro ada pesan yang nyantol karena dibaca sekali lewat.... See More

Maka perenungan di awal Misa, menjadi semakin penting.
Sewaktu mendengarkan, cobalah dengarkan dgn baik. Mungkin ada satu kata, satu frasa, satu perikop yang paling menyentuh dari semua yang dibacakan hari itu.

Coba diingat2, dari waktu ke waktu direnungkan lagi.

Setelah Komuni juga baik untuk membaca kembali bacaan Suci hari itu, mendengarkan kembali apa yang hendak disampaikan Tuhan yang sudah disambut dalam Ekaristi.


PENCERAHAN DARI sumber Majalah Liturgi, vol 1, 2008

Kalau sambil mendengar, umat masih melihat teks tertulis, maka umat kurang melihat si pembaca, mimik dan pantomimiknya. Umat kurang berkonsentrasi pada
lagu kalimat, irama dan aksen-aksen tertentu.

Hendaknya diingat bahwa kecuali surat-surat, Kitab Suci sebelum dituliskan, pada awalnya berbentuk lisan. Sejarah lisan yang diingat turun-temurun,
menyimpan kisah kehidupan iman dari pelbagai bangsa.

Tak boleh dilupakan semboyan para bapa Gereja "Kitab Suci lebih dahulu ditulis di dalam hati Gereja daripada di atas perkamen (kertas dari kulit)". Dan kalau sampai ditulis, Sabda Allah itu menggema dalam mulut para penulis
suci (St. Agustinus). Maka tidaklah heran, banyak ekseget menganjurkan agar sebelum ditafsirkan, hendaknya Kitab Suci dibaca dengan suara lantang.

Jelaslah, dengan mendengarkan bacaan Kitab Suci dalam Perayaan Ekaristi, umat mengaktualisasikan teks Alkitab dengan paling sempurna. Perayaan Ekaristi menempatkan pewartaan di tengah-tengah komunitas umat beriman, yang berkumpul di sekitar Yesus untuk mendekatkan diri pada Allah. Kristus sendiri "hadir dalam Sabda-Nya, sebab Ia sendiri bersabda bila Kitab Suci dibacakan dalam Gereja" (SC, no.7). Oleh karena itu kita perlu membedakan
pembacaan Kitab Suci dalam liturgi dari membaca Kitab Suci untuk Studi Ilmiah atau renungan pribadi, atau ketika pendalaman Kitab Suci bulan September.

Untuk Studi Ilmiah, teks tertulis memang penting. Tetapi untuk liturgi, mendengarkan bacaan lisan jauh lebih penting. Karena dalam liturgi umat mendengarkan Sabda Allah dengan hati dan dalam doa.

Umat Katolik dikritik bahwa mereka pergi ke Gereja tidak membawa Kitab Suci, tetapi membawa buku nyanyian "Puji Syukur". Ingatlah, umat Katolik mengikuti Perayaan Ekaristi tidak untuk menafsirkan secara ilmiah Alkitab, tetapi mau
mendengarkan Sabda Allah. Nyanyian-nyanyian pun sebagian besar sudah dihafal oleh umat. Doa Bapa Kami, Kemuliaan, Aku Percaya, sudah dihafal sejak katekumen. Maka buku Puji Syukur hanya sekedar membantu. Karena bagaimanapun, Ekaristi adalah perayaan iman, bukan upacara.

Dalam perayaan, doa-doa dan nyanyian-nyanyian harus bersifat spontan, yang keluar dari hati. Karena itu, nyanyian-nyanyian bersifat sederhana namun sublim, yang mudah diingat oleh umat. "Sebab, hanya kalau dapat dihayati secara pribadi, liturgi adalah doa umat beriman. Kalau doa liturgis tidak dapat masuk ke dalam hati, maka dengan sendirinya akan menjadi upacara. Hanya kalau hati orang terlibat, liturgi dapat menjadi perayaan." (Tom Jacobs, Teologi Doa, 2004 : 81).

Dalam liturgi, Kristus hadir dalam bentuk simbol. Sebagai pemimpin liturgi, imam menjadi simbol kehadiran Kristus sendiri. Maka ketika membacakan Injil, hendaknya umat melihat imam sambil mendengarkan bacaan tersebut. Dengan berdiri, secara simbolis umat mengungkapkan rasa hormat dan kesiapsediaan untuk menerima kehadiran Allah. Umat tidak boleh lagi melihat teks tertulis yang ada di bangku duduknya. Teks tertulis itu mengganggu konsentrasi.
Karena bagaimanapun "Mendengarkan bukan sekedar tindakan reseptif, yang hanya menerima saja, melainkan juga tindakan aktif. Sebab bila kita mendengarkan, kita sebenarnya sedang membuka diri, untuk menerima dengan sadar, sapaan suara atau kata-kata dari luar diri kita, untuk memberi perhatian dan mau masuk ke dalam diri pribadi si pembicara, serta dengan sadar mau mengambil bagian dalam peristiwa yang didengarkan itu. Demikianlah dalam liturgi, tindakan mendengarkan ini begitu dominan. Kita mendengarkan Sabda Tuhan, homili, doa, nyanyian, musik, bel dan sebagainya" (E. Martasudjita, Memahami Simbol-simbol Dalam Liturgi, 1998:15).

Akhirnya, kita tidak perlu berkecil hati atas kritik yang mengatakan bahwa umat Katolik tidak membawa Alkitab ke Gereja. Karena kita mengikuti Perayaan Ekaristi untuk mendengarkan Sabda Allah. Buku nyanyian "Puji Syukur" hanyalah sekunder, karena kita telah menghafal banyak lagu dan doa-doa sejak katekumen. Kita ingin berdoa secara spontan, dari hati dalam Perayaan Ekaristi. Lembaran-lembaran teks misa yang dibagikan untuk setiap umat dalam Perayaan Ekaristi hari Minggu selama ini, perlu ditinjau kembali, "apakah efektif dan sesuai secara liturgi?"

Sederhana saja, lembaran-lembaran teks misa itu turut membuat umat tidak menghafal lagi doa Bapa Kami, Kemuliaan dan Aku Percaya. Hal ini patut disayangkan. Apa gunanya pengetahuan Teologi yang rumit-rumit, padahal "Aku Percaya" sendiri tidak bisa didaraskan tanpa teks? Yang jelas, manusia tidak berkomunikasi langsung tatap muka dengan memakai teks, tetapi justru dengan bahasa lisan, yang keluar spontan dari hati. Apa gunanya setiap hari Minggu, selalu dicetak ulang teks Kemuliaan, Aku Percaya dalam lembaran-lembaran itu? Sebuah pekerjaan sia-sia yang dicari-cari dan juga merupakan upaya pemborosan. Jadi, pergi ke Gereja dengan membawa "Puji Syukur" sudah cukuplah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar